Kamu tim apa? yang dibully atau si pembully?
Ah, semoga tidak keduanya ya.
Dengan alasan yang kuat dan ini menjadi keputusan yang MasyaAllah tepat, ayah memutuskan pindah rumah, saat kenaikan kelas 5 SD ku. Tepat, untuk mengubah ekonomi keluarga yang bisa dibilang lebih dari cukup, karena sebelumnya ekonomi keluarga kami bisa dikatakan sangat kurang (-).
Aku hanya tidak suka pindah sekolah. Alasannya mungkin terkesan sama, lagi lagi karena fisik ku. Aku yang selalu menyalahkan fisik?, atau mereka yang selalu membedakan kami yang kekurangan fisik? melabeli dengan penuh keyakinan bahwa yang memiliki kekurangan tidak layak diperlakukan dengan sama (baik)? (dalam hal umum).
Aku masih ingat betul tentang ini,
tapi apa mereka ingat?
Hari pertama masuk sekolah, entah apa yang membuat aku berdiri di depan kelas B, sampai akhirnya wali kelas meminta ku masuk, memperkenalkan diri. Bapak wali kelas B bertanya, apa aku ingin di kelas ini atau di kelas A? saat aku ragu dan lama menjawab, seseorang menyeletuk,
"Bibir yang bagusnya disini aja pak, yang jelek kasih ke kelas A"
"Iya pak, setuju." Sahut yang lain dan di iringi dengan gelak tawa yang menggelegar.
Karena merasa tidak enak, merasa sudah kepalang tanggung, dan berpikir nantinya akan menjadi masalah, aku membuat kesalahan fatal, yaitu memilih berada di kelas 5B. (?)
Karena fisik ku, aku tidak bisa mengontrol ingus saat sedang flu, bodohnya aku juga tidak membawa sapu tangan / tisu. Aku memutuskan lap ingus ku dengan rok bagian dalam, karena merasa tidak enak saking seringnya lap ingus, aku sampai berpura-pura bermain dengan sepatuku / memperbaiki tali sepatu yang sudah benar / membersihkan sepatu yang tidak kotor, hanya karena ingin lap ingus dengan rok dibawah meja.
Selang beberapa hari, aku tidak sengaja melihat bagian belakang buku teman sebangku ku yang secara tidak sengaja terbuka, ada tulisan seperti ini,
"Ih siti jorok banget lap ingus pake rok, segala pake pura-pura benerin sepatunya." (Perempuan, D). Entah sudah sampai kemana saja buku itu, karena saat melihat itu, buku itu berada di meja paling belakang.
Beberapa hari kemarin, aku baru saja membeli sebuah pensil kayu berwarna natural, aku tidak menuduh, aku melihatnya sendiri, tidak peduli kalau yang lain lihat atau tidak, pensilku diambil olehnya, dia sempat meraut beberapa kali agar ukuran pensilnya tidak terlihat sama, bahkan sampai rela mengigit bagian ujung atasnya agar terkesan itu miliknya, saat aku memintanya, dia menuduh bahwa aku mencuri pensil miliknya. Ketahuilah bahwa anak baru tidak bisa mereka percaya. (Perempuan, L)
Dengan bebagai macam perlakuan sejak hari pertama aku bersekolah disini, ada satu perlakuan yang paling aku ingat.
Aku ingat betul saat itu terjadi saat jam istirahat, aku duduk di baris pertama kolom ketiga, aku sedang sibuk mencoret-coret buku, beberapa murid laki-laki bermain lempar-lemparan penghapus papan tulis, mereka berdiri di depan dan belakang ku, hingga dengan sengaja mereka melempar kearahku, mengenai kepala. Aku meringis kesakitan, tapi siapa yang peduli? mereka hanya tertawa puas. Aku berdiri sambil memegang kepalaku, mencoba mengambil kembali penghapus dan melempar ke arah yang melempar ku tadi, dia berhasil menepis dan tidak terima, berdalih bahwa itu tidak sengaja, dan? Dia menonjok dada dan punggungku berkali-kali. (Laki-laki, D)
Jangan tanya soal bully verbal, itu terjadi setiap hari :) dan yang aku ingat bully non verbal lainnya; aku pernah dikunci di toilet sekolah.
Aku tidak tahu ini termasuk bully atau tidak, ini terjadi sewaktu SMA, oleh seorang guru. Aku salah satu murid yang datang jauh di awal waktu sebelum masuk. Satpam, guru piket, dan guru BP sudah hafal dengan murid-murid yang rajin datang lebih awal. Hari itu aku sedang meriang, aku tipikal yang akan tetap masuk meskipun sedang sakit, selagi masih bisa jalan, separah apapun aku akan memaksakan diri tetap masuk sekolah. Terbiasa disiplin dan tidak dimanja. Hari itu aku memakai jaket, berdiri di balkon depan kelas, 40 menit sebelum bel masuk berbunyi, baru ada 3 orang murid yang datang, guru itu lewat tanpa menyapa dan bertanya, dia mencubitku sekuat tenaga, dengan jari dan ujung kukunya, sambil berkata: lepas jaketnya!. Sakit hati sekali, dia tidak pernah tahu siapa aku, ah! yang aku tahu dia hanya tahu murid-murid yang cantik dan keren menurut versinya, jelas dia tidak tahu aku. Aku yang selalu berpakaian rapi, pakai jaket ke sekolah hanya di musim hujan, aku bahkan tidak pernah memakai jaket di jam pelajaran.
"Pak, apa harus bertindak langsung? Tidak bisakah bapak bertanya? Apapun itu bapak tidak berhak melakukan itu! kondisiku kurang sehat, aku melepasnya saat masuk kelas, aku tidak memakai jaket saat jam pelajaran, bahkan bel berbunyi masih jauh sekali." (Laki-laki, H)